The Sun for My Brother
Matahari berada di ambang cakrawala, meninggalkan
semburat senja berbalut awan kelabu. Pertanda sang mentari
yang telah menyelesaikan tugasnya hari ini. Berganti dengan
petang yang melintang, menunggu kembalinya sang mentari
di fajar esok hari.
Semburat jingga itu lama kelamaan berpendar, mengawal
kepergian sang mentari di ambang cakrawala. Kegelapan
datang menggantikan cahaya yang berderang. Bahkan bintang
gemintang sudah sedikit berpencar, tuk sambut gelap malam.
Sudah sekitar tiga jam berlalu. Dan aku masih terisak di
depan gundukan bertabur mawar. Air mataku sudah tak bisa
kubendung lagi. Laksana air bah, air mataku membasahi nisan
berukir yang kupeluk erat. Nama yang menjadi penyebab
betapa hancurnya diriku, hari ini.
‘’Kak, hari sudah petang. Sudah mau Maghrib, lho’’.
Satu tepukan pada pundakku membuatku menoleh.
Sesosok anak lelaki kecil dengan kondisi tak berbeda
denganku, berdiri.
‘’Sudah, kak. Berhenti menangisnya,’’ katanya
menenangkanku sembari mengelus pundakku.
‘’Pulang, kak. Sudah malem. Dik Hilal juga pulang,’’
seorang anak perempuan mendatangiku dan anak lelaki di
sampingku yang ternyata bernama Hilal.
‘’Kalau kakan menangis terus, entar Kak Reyhan nggak
tenang di alam kubur,’’ Hilal, bocah kecil itu, menasihatiku.
Aku yang sedari tadi menangis, mulai menyeka mataku
yang sembab lantaran terlalu lama menangis.
“Ayo, kak. Masak matahari, kok, nangis,” Hilal berdiri
sambil mengulurkan tangan kanannya padaku.
Hhhahmmm!!! Aku menghela napas dalam-dalam.
Mengisi paru-paruku dengan oksigen, sekaligus mengatur
temponya agar sedikit lebih tenang.
Hilal tersenyum begitu tanganku menerima uluran
tangannnya. Ia membantuku berdiri.
“Kak Kayla pulang ke rumah kami aja. Di Rumah Cinta
ada banyak orang. Dijamin kakak nggak bakal kesepian,” ujar
Khilya, sedikit menyungggingkan senyum untukkku.
“Dan kak Reyhan juga nggak akan khawatir lagi di sana,
karena di sini Kak Kayla nggak kesepian lagi”. Kembali
Khilya berkata, sambil menatap langit bertabur bintang,
lalu menunjuk salah satu bintang yang bersinar paling
terang.
“Kak Reyhan kini pasti sedang tersenyum, karena Kak
Kayla udah bisa ikhlasin kepergian Kak Reyhan. Tenang, Kak
Rey, ada Khilya dan Hilal buat nemenin Kak Kayla”. Khilya
menatap langit, seolah berbicara dengan sang bintang, yang,
menurutku paling terang. Seolah ada sosok kakak dalam sinar
yang terpancar.
Aku mendongakkan wajahku. Kuarahkan anak mataku
pada bintang yang juga ditatap Khilya. ‘’Kak Reyhan. Terima
kasih. Karenamu, aku mengenal mereka,’’ kataku dalam hati.
Hilal menggenggam erat tanganku. “Semua yang ada
di dunia ini milik Allah, dan akan kembali kepada-Nya. Kita
manusia, tak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah takdir
yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Manusia harus bisa
merelakan kepergian orang yang disayangi menghadap Tuhan.
Hanya doa yang bisa dilangitkan, agar Allah mempermudah
urusan mereka di akhirat. Doakan Kak Reyhan tenang di alam
sana, ya, Kak’’. Kembali Hilal menasihatiku.
Aku tertegun. Tuhan, betapa berutungnya aku di
pertemukan dengan anak-anak hebat seperti Hilal dan Khilya.
Dua anak kecil dari keluarga sederhana. Usianya baru sekira
6 dan 10 tahun. Namun mereka demikian tabah merelakan
kepergian orang-orang yang paling mereka sayangi.
Orang tua mereka meninggal dalam musibah tsunami
Aceh beberapa tahun lalu. Kemegahan kota luluh lantak dalam
sekali terjang. Banyak yang bilang, Tuhan murka, sehingga
menurunkan bencana sebagai peringatan bagi mereka yang
bejat. Namun di antara mereka, ada manusia tak bersalah
yang turut menjadi korban. Seperti orang tua Hilal dan Khilya.
Tsunami Aceh, menyisakan trauma bagi banyak orang
yang ditinggalkan keluarganya. Tetapi bagi Hilal dan Khilya,
peristiwa itu merupakan pelajaran tentang ikhlas dalam
kehidupan.
Hari ini, Tuhan mengajariku tentang hal itu.
Ikhlas itu susah?
Tentu saja.
Sempat aku berpikir, ini salah Tuhan yang terlalu cepat
mengambil kakakku kembali. Tuhan tak sayang padaku, yang
begitu menderita akibat kepergiannnya.
Aku salah sangka. Tuhan tak pernah salah. Ini bukan
kesalahan, ini sudah menjadi ketetapan.
Dan dalam perjalanan pulang dari pusara kakakku, aku
menyadari betapa beruntungnya aku, karena masih memiliki
orang tua lengkap.
Buru-buru ku seka sisa-sisa air mata yang masih
menggenangi pelupuk mataku.
“Udah sampai, Kak”. Kami berhenti di depan rumah
bercap biru muda, dengan sebuah plang besar bertuliskan
‘Rumah Cinta’. Rumah kediaman Hilal dan Khilya serta anakanak yatim piatu lainnnya; panti asuhan.
Kedatanganku langsung disambut beberapa anak
kecil, yang sebagian masih mengenakan pakaian hitamhitam, sama sepertiku. Mereka berhamburan keluar
kamar, mengerubungiku. Ada yang memeluk. Dan ada yang
menggandeng tanganku.
“Kak Kayla, yang tabah, ya. Kak Reyhan orang baik, kok.
Pasti amalnya banyak. Jadi kakak nggak perlu khawatir. Pasti
Kak Reyhan bahagia di sana”. Ucap mereka silih berganti satu
sama lain, meguatkanku.
Tuhan, sekarang aku merasa benar-benar rendah. Kini
ku saksikan anak-anak kecil yang nasibnya bahkan lebih
mengenaskan dari kehilangan seorang kakak. Segera ku
hapus seluruh sisa air mataku. Aku malu. Malu pada diriku
yang terlalu lemah. Malu pada anak-anak panti ini. Dan malu
pada-Mu, Tuhanku.
“Iya. Kak Reyhan pasti sudah tenang di sana. Insyallah,
kakak sudah ikhlas,” ucapku tersenyum, kendati sangat ketara
karena dipaksakan.
Hilal tersenyum.
“Nah, gitu dong, kak”. Hilal mengelus punggung tanganku.
“Masak matahari nangis terus,” sambungnya.
“Assalamu’alaikum”.
Aku mengucap salam, lalu membuka pintu rumahku
perlahan. Nampak tikar yang masih memanjang dengan
sajian untuk tetamu yang datang. Nampak juga beberapa
karangan bunga duka cita diletakkan di depan kamar kakakku.
Rumah sudah kosong. Para pelayat sudah pulang ke
kediaman masing- masing. Tinggal nenek dan beberapa
anggota keluargakua, yang menguatkan bunda yang masih
berkabung. Kupeluk bunda yang masih terduduk di depan
foto kakakku. Matanya bunda sembab. Kuelus pundak bunda,
perlahan.
“Bunda’’. Panggilku lirih.
Bunda menoleh. Ganti memeluk erat tubuhku.
“Kayla minta maaf, bunda,” kataku. Bunda mengelus
pucuk kepalaku.
“Kayla yang ikhlas, ya. Maafin bunda. Bunda nggak
mengabarimu lebih awal, saat kakakmu masuk rumah sakit”.
Aku tersenyum, kutenggelamkan wajahku dalam dekapan
bundaku.
“Nggak apa-apa, bun. Kayla insyaallah sudah
mengikhlaskan kepergian kakak”.
Pandangku berpencar, menyapu seisi ruangan. Lalu
kulihat piano klasik di pojok ruangan, tempat kakakku biasa
bertengkar denganku jika saling beradu volume TV, dan tuts
hitam putih yang ditekannya. Rindu tiba-tiba menyergapku.
Hari ini, sungguh pilu harus kutanggung. Pulang dari
olimpiade, rumahku sudah penuh dengan orang berpakain
hitam-hitam. Karangan bunga ucapan duka cita dengan
menyematkan nama kakakku, berderet di halaman rumah.
Di dalam rumah, kudapati tubuh kakakku yang sangat dingin.
Aku pun memeluk erat raga yang sudah membujur kaku di
atas ranjang itu.
Aku pun benar-benar marah pada ayah, bunda dan
pada Tuhan yang tiba-tiba mengambil nyawa kakakku tanpa
permisi. Kakakku masih 18 tahun. Masih terlalu muda. Masih
banyak mimpi yang bisa diraihnya.
“Kayla kembali ke kamar, ya. Mandi. Ganti baju. Habis itu
kita jamaah Maghrib. Sekalian berdoa dan membaca Surat
Yasin buat kakakmu,” kata bunda, sedikit tersenyum.
3 Days without Brother, very very lonely, I miss him.
Aku menyudahi ketikan tuts-tuts keybord pada laman
blog-ku.
Kayla!” suara ayah memanggilku.
Kubenahi rambutku. Kusematkan jepit kupu-kupu biru
pemberian kakak pada rambutku. Baru kemudian keluar
menemui ayah.
Ku kenakan gaun biru muda di atas mata kaki, dan kalung
mutiara yang melilit leherku. Kalau ada kakak, aku pasti sudah
meminta pujian untuk penampilanku ini.
“Wah, princess ayah cantik sekali hari ini,” ayah memujiku.
Ayah membungkuk 90 derajat, sambil mengulurkan
tangannya ke arahku. Aku terkekeh. Ayah seperti pangeranpangeran di negeri dongeng yang hendak menyambut
Cinderella turun dari kereta kencana.
Aku menerima uluran tangan ayah. Lalu, ayah menuntunku
ke halaman rumah.
“Happy birthday …”. Teriak anak-anak kecil bebarengan.
Aku cukup terkejut. Bola mataku bergerak mencari bunda.
Ternyata, bunda berada di depan barisan anak- anak panti.
Bunda bergerak mendekatiku dengan kue tart dua tingkat
warna biru, bertema frozen. Mendekatkan lilin berbentuk
angka 14, tepat di depan wajahku.
“Tiup lilinnya. Tiup lilinnya … ,” ayah bernyanyi diikuti
sorak sorai anak-anak Rumah Cinta. Ada Hilal dan Khilya.
Bunda juga ikut bernyanyi ceria.
Tiga hari semenjak kepergian kakak, tanggal 21 adalah
ulang tahunku. Biasanya, kakak akan merecokiku di pagi hari.
Membangunkanku dengan suara terompet, disertai siraman
tepung bercampur pewarna. Menyoret-nyoret wajahku,
hingga nampak seperti badut sirkus.
Kakak akan menggeretku keluar dari kamar. Lalu,
menyolekkan krim dari cake yang dibawa bunda, hingga
wajahku lengket. Giliran berikutnya, berebut cake potongan
pertama dengan ayah, walau tiap kali aku ulang tahun, selalu
bunda yang mendapat potongan pertama dariku.
“Make a wish, baru tiup lilinnya,” ujar ayah.
Aku mengangguk. Menyatukan dua telapak tanganku. Ya
Allah, bahagiakanlah selalu keluarga kecil kami. Jaga kakakku
baik-baik di sana.
Wushhhh …
Kutiup lilinnya, membuat kedua api di atas lilin berubah
menjadi asap tipis.
Cup. Dua ciuman dari orang tuaku mendarat di pipi kanan
dan kiriku.
“Makasih, yah, bun,” kataku.
Mereka memelukku. Namun ada kehangatan yang
kurang. Tapi, aku masih bersyukur. Sampai saat ini, Tuhan
masih memberiku kesempatan menjalani kehidupan yang
indah.
“Cake pertama, buat bunda”. Kuberikan potongan
pertama pada bunda.
“Kedua, buat ayah”.
Ayah sedikit protes, karena bagiannya lebih kecil. Aku
hanya tertawa melihat kekesalan ayah.
“Ketiga, buat…”, perkataaku terhenti.
Kakak. Biasanya, yang ketiga bagian kakak. Selalu yang
paling kecil. Lantas kakak akan langsung menyomot pisau
potong dan memotong kue untuknya, seenaknya. Aku
menyisihkan potongan ketiga di atas meja. Lalu, kulanjutkan
potongan-potongan berikutnya untuk anak-anak Rumah
Cinta.
“Buat Hilal. Ini buat Khilya,” kataku sambil memberikan
sepotong kue pada masing-masing anak setelahnya.
Ada sedikit perdebatan kecil di antara mereka. Entah
lantaran kuenya lebih kecil. Cream-nya kurang banyak. Atau
iri dengan temannya yang beruntung mendapat cherry.
Kami bergembira bersama. Berlarian menonton
pertunjukan sulap dan badut, serta menari dengan instrumen
piano yang dimainkan ayah. Ayah memang mahir memainkan
piano. Bakat itu menurun pada diri kakak.
Oh, ya. Aku hampir lupa, kakak! Diam-diam aku
menyelinap keluar dari kerumunan. Dengan sepotong kue
yang sebelumnya kusisihkan. Segera kubawa ragaku berlari
menuju pemakaman yang letaknya tak jauh dari panti
asuhan. Ku bersimpuh di samping pusara kakak, lalu kuusap
batu nisan di pusara kakakku itu.
“Kak Reyhan, Kayla rindu”.
Air mataku berderai, namun segera kuhapus. Aku tak
boleh menangis di depan kakak. Dulu, tiap kali aku menangis,
kakak pasti akan mengambil kamera dari sakunya dan
merekamku. Lalu, memosting di akun instagramnya.
“Kak. Kakak nggak rebutan lagi sama ayah? Khan, jadinya
kakak malah dapat potongan ketiga”. Kataku, seolah nisan
yang kutatap adalah sosok kakak.
“Kakak paling suka blackforest. Tapi ultah Kayla kali
ini, temanya frozen. Jadi, rasanya bukan blackforest. Tapi,
rainbow cake dengan krim rasa blueberry ice”.
“Jatah buat kakak, Kayla yang mewakili, ya”. Gumamku,
lalu mengunyah dan menelan kue bagian kakak. Sambil terus
bercerita tentang betapa kesepiannya aku hari ini.
“Ni, lho, Kak. Dulu, khan, Kayla selalu berdoa di malam
ulang tahun Kayla. Semoga, besoknya kakak lupa nyoretnyoret wajah Kayla di pagi hari. Kayaknya, doa Kayla udah
Allah kabulin,” ujarku sedikit tersenyum.
Aku bahkan pernah membuat permintaan, supaya
kakak tidak ngerusuhin hari bahagiaku. Dan kini, hari yang
seharusnya special, kurasakan begitu sepi.
“Ayah yang nyanyi. Tadi, ayah mainin lagu something just
like this, juga sambil main piano. Bagus, khan, suara ayah?
Nggak seperti suara kakak. He he … Tapi, ayah nggak bisa
main piano sebagus kakak, apalagi, story of my life. Ayah
nggak nyanyiin itu. Ayah iri sama bunda gara-gara kue ayah
lebih kecil. Kayak anak-anak panti aja,” aku berkisah di pusara
kakakku.
“Kak. Kakak di sana ingat ulang tahun Kayla, khan?,’’
kembali aku bergumam, lirih.
Air mataku tak bisa kubendung lagi. Biasanya, di hari
seperti ini banyak momentum menyebalkan yang biasa kulalui
bersama kakak. Kakak pasti mengangguku sepanjang hari,
bahkan setiap waktu. Pernah kakak membawaku berenang
di kolam renang dewasa, lalu meninggalkanku sendirian di
tengah-tengah kolam renang sedalam 1,5 meter. Padahal saat
itu, aku masih kelas 2 SD.
Di hari ulang tahunku, kakak akan menyanyikan lagu apa
saja yang kuminta, diiringi piano. Dulu aku paling sebal ketika
kakak bermain piano sambil menyanyikan lagu symphony
dengan suara berat. Pasti akan berteriak keras, membuat
gendang telingaku rasanya ingin pecah. Tapi, sekarang aku
menginginkannya. Kak, kalau kau ada di sini, silakan bernyanyi
sekeras yang kakak mau. Kayla akan mendengarkannya.
Kak. Kayla janji akan jadi adik yang baik dan nurutin semua
nasihat kakak dulu. Kayla bakal rajin sekolah. Rajin ngaji. Rajin
salat. Berhenti main HP. Kayla akan …
Air mataku kembali tumpah. Kupeluk nisan kakakku
erat. Rindu. Aku rindu caranya saat tersenyum. Tertawa.
Rindu caranya menghiburku dengan lelucon. Rindu caranya
menatapku. Mencurahkan perhatian. Saat kecewa. Bangga.
Dan rindu tatapan tidak ikhlasnya ketika memujiku cantik.
“Kak Kayla …” Sebuah suara memanggilku. Tetapi belum
sempat aku menoleh, Hilal, si pemilik suara, sudah bersimpuh
di sebelahku.
“Pulang, Kak. Bunda nyariin kakak …,” katanya.
Hilal. Selalu saja saat aku sedang menangis di pusara
kakak, entah apa yang menyebabkan Hilal datang di waktu
seperti ini.
‘’Kak. Katanya sudah ikhlas. Ayo, pulang,’’ ajaknya. Aku
menurut. Dan kuseka habis jejak-jejak air mataku .
Aku bangkit diikuti Hilal. Hilal tersenyum. Kugandeng
telapak tangan mungil bocah usia 7 tahun itu. Kami pun
berjalan pulang beriringan.
Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar.
Menelungkupkan wajahku yang masih berlinang air mata, di
bantal berbentuk koya, karakter BT21.
Cklek. Bunda membuka pintu kamarku. Kemudian
meletakkan entah apa di pinggir kasurku.
“Bunda lupa. Ada satu lagi, kado spesial buat Kayla.
Dibuka, ya …,” ujar bunda sebelum menghilang di balik pintu
kamarku.
Kuraih sebuah kotak warna galaksi yang diletakkan. Di
bagian kotak itu, tersemat sebuah amplop warna pastel
dengan stempel love-love di tengahnya.
Kubuka perlahan perekat amplop itu. Lalu, kutarik sebuah
foto dari dalam amplop. Foto terakhir kami. Kenanganku
kembali berkelana, pada beberapa bulan sebelum ini semua
terjadi.
“Dik,” panggil Kak Reyhan. Aku menoleh. Kak Rey
mendekatiku.
Diacungkannya kamera DSLR yang baru dibelinya. Lalu,
mengarahkan lensa kamera menyorot wajah kami berdua,
dan, “cheese …”. Kak Rey merangkul pundakku, lantas
menekan tombol blitz, ckrek!!!
“Jelek,” Kak Reyhan mengomentasi.
“Sekali lagi, ya”. Kakak merapikan poniku. Aku yang tak
tahu apa-apa, hanya bisa berpose dua tangan membentuk ‘V’
yang kurapatkan di atas telingaku. Kakak kembali menekan
blitz kamera. Cup … ckrek!!! Blitz kamera memotret cepat,
saat bibir kakak mengecup pipi kananku. Buru- buru kuhapus
jejak bibir kakak pada pipiku.
“Apaan, sih, kak,” protesku, sedikit malu.
Aku ini sudah dewasa. Kakak hanya terkekeh pelan,
melihat hasil jepretannya, lantas tersenyum
“La,” panggil kakak.
“Hhmmm … ,” dengan malas, aku menanggapi. Lalu
kembali fokus pada layar hp-ku.
“Dik Kayla,” panggil kakak lagi.
“Semua yang ada di dunia ini, milik Allah, khan, La?” tanya
kakak seraya menggenggam kedua tanganku.
Aku hanya mengangguk pelan. ‘’Seperti pertanyaan anak
TK saja,’’ aku membatin.
“Manusia juga, khan, dik?” Akh … bualan apa lagi ini. Aku
kembali mengangguk pelan.
“Berarti, kalau manusia diambil sama pemiliknya, boleh,
khan?”
“Ya, boleh-boleh aja. Khan kita semua milik Allah. Terserah
Allah mau ngambil kapan. Semua udah jadi ketetapan Allah.
Kita semua juga pasti akan kembali kepada-Nya.’’
“Harus ikhlas, ya. Kalau yang bukan milik kita, diminta
kembali oleh pemilik yang sesungguhnya,’’ imbuhnya.
Aku mendengus kesal. Lama kelamaan, arah pembicaraan
kakak jadi ngelantur.
“Kakak kesambet apa, sih? Ngelantur bagitu, bicaranya,”
aku menimpali. Namun kakak malah tersenyum. Membelai
rambutku. Lantas mengelus pipiku lembut.
“Kakak ingin kamu janji sama kakak. Jaga matahari di
matamu, biar selalu bersinar. Juga lengkungan bulan sabit di
bibirmu, harus selalu melengkung. Karena kamu makin cantik
kalau senyum kayak gini,” kata Kak Reyhan sembari menarik
dua sudut bibirku dengan dua telunjuknya, membentuk
lengkungan senyum.
Kak, kataku. Pulang dari Rumah Cinta, kok malah
ngegombal kayak gini, sih? Rumah Cinta, khan, isinya anakanak semua. Kakak marah bicara ngelantur plus ngegombal
nggak jelas.
Namun, lagi-lagi hanya ditanggapi dengan senyuman.
Kakak memegang kedua pipiku. Mendongakkan wajahku,
lantas menatap mataku dalam butiran hangat. Cup!!! Seolah
saat itu adalah saat terakhir kita bertemu. Kakak mencium
keningku lama. Kurasakan butiran hangat menetes dari
pelupuk matanya, membasahi pipiku.
“Kakak cengeng,” ejekku. Kakak hanya tersenyum tipis.
“Kakak nggak bercanda, La. Kakak ingin kamu menjaga
senyummu,” tuturnya.
Air mataku kembali mengalir deras. Bulir bening air
mataku berjatuhan, tumpah membasahi secarik kertas biru
di pangkuanku. Kubaca lipatan biru, yang berisi surat terakhir
kakakku.
Teruntuk, matahariku.
Dik, maafkan kakak. Kakak selama ini menyembunyikan
hal yang semestinya kamu ketahui sejak awal. Kakak juga
tak menyangka, jika sel kanker yang pernah menggerogoti
otak kakak sewaktu kecil, kembali menyerang kakak,
bahkan lebih parah dari sebelumnya. Kakak sengaja
meminta ayah serta bunda diam, dan tidak memberi
tahumu soal penyakit yang kakak derita. Kakak tak
ingin kamu mengkhawatirkan kondisi kakak, hingga
mengganggu belajarmu. Kakak tak ingin olimpiade yang
sudah kamu perjuangkan dari awal, tiba-tiba terhenti
hanya karena kondisi kakakmu ini.
Kakak bangga bisa memiliki adik yang hebat sepertimu.
Kakak sangat bangga, dan merasa sangat kalah jika
dibandingkan dengan adik satu-satunya yang kumiliki.
Kakak percaya, kamu pasti berhasil.
Oh, ya. Kakak minta maaf, karena Tuhan memanggilku
tepat tiga hari sebelum hari ulang tahunmu. Kakak benar-
benar minta maaf, tidak bisa ikut merayakan ulang tahun
adik cantik kakak untuk terakhir kalinya dalam hidup
kakak.
Tapi, apa boleh buat. Kakak hanya manusia, milik Allah.
Vonis dokter bisa saja salah, namun vonis Allah tidak
pernah salah. Allah sudah menentukan segalanya. Dan
kini, kakak diambil kembali oleh Sang Pemilik Kehidupan.
Kakak harap kamu bisa ikhlas. Kamu adik kakak satusatunya. Kakak tahu, kamu hebat. Ikhlaskan kepergian
kakak. Selamat ulang tahun. Kakak sangat berharap,
matahari di matamu selalu bersinar.
Salam sayang dan rindu,
Seseorang yang selalu ingin melihatmu tersenyum.
Reyhan
Aku membuka kotak kado dari kakak. Aku menangis
haru. Hadiah yang tak pernah kupikirkan di ulang tahunku
sebelumnya. Sebuah mushaf kalung emas berliontin batu
ruby cemerlang sebagai mataharinya. Juga kaset berisi record
suara kakak dengan alunan pianonya. (*)
Karya Azka Nur Azkia
Dimuat dalam buku Antologi Puisi & Cerpen “Pena Santri Muria”